Di tengah pandemi Covid-19, puluhan anak menjadi korban eksploitasi seksual melalui online. Humas Polda Metro Jaya bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) RI dan stakeholders lain secara resmi mengungkap kasus eksploitasi seksual yang melibatkan 15 orang anak sebagai korban.

“Korban ada 15 orang yang semuanya anak di bawah umur yang rata-rata umurnya 14-15 tahun. Ini adalah murni kejahatan eksploitasi anak,” ungkap Kabid Humas Polda Metro Jaya, Yusri dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jumat (19/03).

Sesuai dengan tambahan fungsi baru tentang penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, Kemen PPPA telah melakukan pendampingan dan asesmen bagi korban kasus eksploitasi anak ini sejak awal pemeriksaan oleh kepolisian dilakukan. Asesmen lebih mendalami motif masing-masing korban yang berbeda, salah satunya karena kebutuhan hidup.

Dijelaskan Kabid Humas Polda Metro Jaya, para pelaku mulai dari mucikari, pengelola hotel, sampai pemilik hotel bekerja sama terlibat dalam eksploitasi anak di Hotel A. CA yang berstatus sebagai pemilik hotel juga ditangkap karena perannya mengetahui langsung dan melakukan pembiaran dengan dalih mempertahankan occupancy atau jumlah pengunjung hotel serta melonggarkan pengecekan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Ada juga di kota Solo tepatnya di Rumah Susun Sederhana Sewa Solo ada sejumlah anak-anak dibawah umur terlibat prostitusi yaitu melakukan Open BO. Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan dari Orang Tua, hal ini diketahui oleh UPT Rumah Sewa mendapatkan laporan adanya tindak prostitusi di rusunawa. Dijelaskan bahwa bapak dan ibunya pergi bekerja, kemudian anaknya perempuan melakukan tindakan asusila dan digerebek di rusun tersebut.

Menurut laporan situasi Anak dan perempuan (Unicef 2000), anak dibawah usia 18 tahun  yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center, pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung ataupun yang “terdaftar”. Sementara itu,  menurut M. Farid (2000), memperkirakan 30 % dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300 ribu anak-anak. Di Malaysia dilaporkan terdapat  6.750 pekerja seks komersial (PSK). 62,7 % dari Jumlah  PSK tersebut  berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40% dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17 tahun.

Perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial tidak hanya terjadi di Indonesia saja.  Menurut Laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), secara global  memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di dunia terdapat 30 juta anak perempuan diperdagangkan. 225.000 orang  diantaranya berasal dari Asia Tenggara dan 150.000 orang dari Asia Selatan. Dari Kawasan Asia Tenggara, menurut laporan tersebut, Indonesia diduga yang paling terbanyak memperdagangkan perempuan dan anak. Masih menurut sumber badan PBB tersebut,  dari perdagangan anak  diperkirakan memperoleh keuntungan US$ 7 Miliar per tahun

Kongres  Dunia menentang Seksual Komersial terhadap Anak (The world Congress for Against Sexual Commercial Exploitation of the Children)  yang diselenggarakan di Stockholm, Swedia tahun 1996, menetapkan bahwa semua bentuk Eksploitasi Seksual Komersial  terhadap anak adalah merupakan pelanggaran mendasar atas hak-hak anak dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu,  setiap negara yang menjadi peserta Konvensi Hak Anak (State Party),  bila membiarkan  semua bentuk  Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak tanpa melakukan langkah-langkah pencegahan, perlindungan maupun pembasmian terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut, maka negara peserta Konvensi hak Anak (KHA) dapat dianggap  melanggar Hak Asasi Manusia. Sebab, salah satu hak mendasar yang melekat dalam dari anak adalah hak mendapat  perlindungan (protection Rights) yang memadai dari negara.

Bentuk-bentuk dari kegiatan Seksual Komersial terhadap anak, baik Deklarasi Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak maupun ketentuan KHA dan UU Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa eksploitasi seksual komersial terhadap anak  meliputi kegiatan penyalahgunaan seksual anak oleh orang dewasa dengan cara paksa, pemberian uang atau sejenisnya kepada anak maupun pihak ketiga,  anak dijadikan sebagai objek seks serta objek komersial. Eksploitasi seksual Komersial anak juga dapat dilihat dalam bentuk paksaan terhadap anak-anak, dalam bentuk kerja paksa dan bentuk perbudakan modern.

Bentuk-bentuk Eksploitasi Anak Dibawah Umur

1. Eksploitasi Ekonomi

Eksploitasi ekonomi pada anak adalah dengan menyalahgunakan tenaga anak dengan dimanfaatkan fisiknya untuk bekerja demi keuntungan orang yang mengeksploitasinya. Mirisnya, menurut data International Labour Organization, sekitar 168 juta anak menjadi pekerja anak dan sekitar 85 juta anak melakukan pekerjaan yang berbahaya.

2. Eksploitasi Seksual

Eksploitasi seksual pada anak yaitu kegiatan yang melibatkan anak untuk melakukan aktivitas seksual yang belum dipahaminya. Dari 168 juta, sekitar 2 juta anak per tahun dipaksa melakukan eksploitasi seksual dan pronografi.

3. Eksploitasi Sosial

Eksploitasi sosial yaitu segala perbuatan pada anak yang bisa menyebabkan perkembangan emosionalnya terhambat. Misalnya memanfaatkan anak untuk meraih popularitas dan keuntungan ekonomi pelaku.

Penerapan Sanksi Bagi Pelaku

Polres Padanglawas menangkap dua pelaku kasus tindak pidana eksploitasi dan pencabulan anak dibawah umur, telah diamankan dan keduanya dapat dihukum dengan ancaman 22 tahun penjara. pelaku eksploitasi anak VLH alias alias Aceh (38) warga Bangka Belitung, dan pelaku pencabulan anak dibawah umur AH (23) warga Tanjung Botung, Pasar Sibuhuan.

“Terungkapnya kasus tindak pidana eksploitasi dan pencabulan anak dibawah umur ini atas laporan orang tua korban ke Sat Reskrim Polres Palas”, ucap Diari.

Tersangka Nonik alias Aceh disangkakan melanggar Pasal 88 Jo pasal 76 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.

Sedangkan AH (23) ditetapkan tersangka perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur, melanggar Pasal 6 Huruf b Jo Pasal 15 Huruf e dan g dari UU No 12 Tahun 2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), ancaman hukuman 12 tahun penjara ditambah 1/3 dari Pidana pokok.

lalu untuk penanganan korban sudah ditempatkan di tempat aman dan akan didampingi dari pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) 

Undang-undang yang Mengatur tentang Eksploitasi Anak

1. UU Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Mengenai larangan bagi semua pihak, termasuk orang tua untuk melakukan eksploitasi pada anak, baik eksploitasi ekonomi dan/atau eksploitasi seksual.

2. Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 bagian (f)

Setiap anak memiliki hak perlindungan dari kejahatan seksual.

3. Pasal 20 UU Nomor 35 Tahun 2014

Negara, pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, masyarakat, keluarga, dan orang tua/wali bertanggung jawab dan berkewajiban dalam menyelenggarakan perlindungan terhadap anak.

4. Pasal 76l UU Nomor 35 Tahun 2014

Setiap orang dilarang membiarkan, menempatkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut serta melakukan eksploitasi pada anak secara ekonomi dan/atau seksual.

5. Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Sanksi Pelaku Eksploitasi Anak

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 76l akan diberikan sanksi berupa pidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000.

Bagaimana Jika Kita Menemukan Kasus/Kejadian Eksploitasi dan Pencabulan Anak dibawah Umur

Untuk mencegah anak-anak menjadi korban, sejumlah langkah perlu dilakukan. Salah satunya adalah memperluas dialog dan mendorong teman-temannya mencari bantuan.

Selain itu, perlu dibangun lingkungan di mana anak-anak merasa nyaman mencari nasihat, bantuan, dan perbincangan tentang kesehatan serta hak reproduksi sosial.

Kemudian dengan meningkatkan Pusat Rehabilitasi anak yang menjadi korban eksploitasi

Langkah-langkah dan Tanggung Jawab Pemerintah

Pertama,  Pemerintah memberikan prioritas utama pada tindakan untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak dan mengalokasikan sumber daya yang memadai. 

Kedua, menindak pelaku eksploitasi seksual komersial anak, dan bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual anak, serta mengutuk dan menghukum semua yang terlibat dalam pelanggaran, baik itu warga lokal maupun asing, serta menjamin agar anak-anak yang menjadi korban praktek eksploitasi seksual komersial  tidak dihukum. 

Ketiga, memobilisasi penegakan hukum, kebijakan, program-program yang melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial dan memperkuat komunikasi dan kerjasama antar pihak penegak hukum, mendorong penerapan, implementasi serta diseminasi Undang-undang Perlindungan Anak.

Keempat, pemerintah membuat peraturan tentang Penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak dan peraturan tentang pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan dan protokol penyelundupan orang.

Kelima, pemerintah segera menciptakan iklim pendidikan, mobilisasi sosial, juga aktivitas pengembangan untuk menjamin agar orang tua  bertanggung jawab atas anak-anak untuk memenuhi hak-hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual komersial

Sauce

http://yd.blog.um.ac.id/bentuk-bentuk-eksploitasi-pada-anak-dan-uu-yang-mengaturnya/

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3102/puluhan-anak-jadi-korban-eksploitasi-seksual-kemen-pppa-ingatkan-untuk-tidak-mudah-terjebak-bujuk-rayu

https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=648:eksploitasi-seksual-komersial-mengintai-anak-kita&catid=101&Itemid=181&lang=en

https://indonesiabaik.id/infografis/upaya-bersama-mencegah-eksploitasi-anak-cegah-eksploitasi-anak