Zaman sekarang ini dapat dikatakan mudah untuk mencari informasi. Dengan kondisi penyedia informasi atau media massa mengalami perkembangan, hal ini memiliki sisi positif sekaligus juga tak jarang memberikan sisi negatif. Secara signifikan media massa saat ini mengalami perubahan, hal ini menunjukkan media massa telah memasuki perkembangan babak baru. Dengan lahirnya Jurnalisme Online, segala berita semakin mudah diproduksi dan sampai kepada publik. Jurnalisme ini memungkinkan berita yang diproduksi hitungan hari bisa menjadi hitungan detik. Perkembangan informasi pada sisi negatif memunculkan publikasi pornografi menggunakan jaringan internet. Publikasi berkaitan dengan pornografi sebenarnya bukan merupakan hal baru. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi dijadikan sebagai instrumen penunjang penyebaran pornografi. Dengan produksi jurnalisme online menjadi hitungan detik, membuat teknologi informasi sebagai kebutuhan utama yang ada dalam kegiatan harian pengguna media online

Media sosial, telah menjadi refleksi dari kehidupan nyata kita dalam banyak hal. Namun, ada beberapa faktor yang membuat fenomena negatif menjadi lebih tampak di internet. Akhir-akhir ini kita banyak menjumpai hal-hal yang aneh di media sosial maupun di Internet. Mulai dari kasus pembullyan, pembunuhan, dan juga pelecehan maupun kekerasan seksual.

Sebagai media sosial yang umumnya berbentuk teks, twitter seharusnya menjadi sarana untuk bertukar pikiran dalam bentuk tertulis dan minim dari konten asusila berupa gambar dan video. Namun, kenyataan yang ditemukan malah sebaliknya, twitter merupakan media sosial dengan konten asusila terbanyak yang telah diblokir. Seringkali, pengguna twitter merasa bebas untuk menyampaikan dan mengunggah apapun yang diinginkannya, termasuk yang bermuatan asusila atau pornografi.

Di media sosial twitter, semua orang dapat mengakses dan mengunggah konten-konten asusila atau pornografi. Bahkan beberapa pengguna mengunggah foto/video asusila untuk mendapatkan pengikut di twitter dan mengekspresikan diri. Mereka yang mengunggah konten asusila miliknya atau biasa disebut akun alter, memanfaatkan pihak ketiga yang disebut sebagai ‘autobase’ untuk mempublikasikan gambar atau video tak senonoh tanpa identitas mereka

Di lingkungan kampus terkhusus Universitas Sebelas Maret, kita dihebohkan dengan munculnya akun @semarscandal sebagai akun yang menjual konten-konten skandal mahasiswa UNS. Akun tersebut ramai diperbincangkan setelah muncul di Twitter / X pada akun autobase @unsfess. Akun instagram @semarscandal menawarkan transaksi jual-beli konten dan mematok harga untuk setiap konten tersebut. Oleh karena itu akun menfess (mention confession) @unsfess menutup fitur autobase-nya selama beberapa waktu dan melacak pengirim autobase tersebut. Kegiatan yang dilakukan oleh akun @semarscandal tersebut merupakan tindakan Non Consensual Distribution of Intimate Images.

Non-consensual Distribution of Intimate Images, sering disebut juga “revenge porn” atau “cyber exploitation”, mengacu pada tindakan mendistribusikan atau membagikan gambar atau video intim seseorang tanpa persetujuannya. Dalam banyak kasus, pelakunya adalah mantan pasangan yang ingin membalas dendam atau menyakiti korban, meskipun bisa juga dilakukan oleh orang lain dengan motif yang berbeda.

Gambar atau video tersebut bisa saja diambil dengan persetujuan korban saat masih dalam hubungan dengan pelaku, atau bahkan bisa diam-diam diambil tanpa sepengetahuan atau persetujuan korban. Dengan kemudahan akses ke media sosial dan situs web lainnya, pelaku bisa dengan cepat dan mudah menyebarkan gambar atau video tersebut ke audiens yang luas.

Dampak dari tindakan ini sangat besar terhadap korban. Selain rasa malu dan penghinaan, korban bisa mengalami trauma, isolasi sosial, kesulitan pekerjaan, dan masalah kesehatan mental lainnya. Di banyak negara, Non-consensual Distribution of Intimate Images telah diakui sebagai tindak pidana dan dikenakan sanksi hukum bagi yang melakukan.

NCDII dapat terjadi di media manapun, seperti Instagram, TikTok, Facebook, Discord, maupun Twitter. Di twitter sendiri pasti tidak asing dengan istilah autobase. Autobase sendiri yaitu sebuah akun dimana kita bisa menulis tweet secara anonim melalui DM Twitter menggunakan kode panggil atau biasa disebut ‘trigger’ tertentu lalu dengan sistem pemrograman bot akan meneruskan seolah-olah kita sedang nge-tweet di akun tersebut. Bisa dibilang tweet otomatis secara anonim. Sejarah awalnya dimulai pada autobase pengguna Twitter ditujukan pada akun-akun RP (Roleplayer). 

Autobase juga terdapat admin yang mengelola akun tersebut dan juga sebagai sarana untuk melaporkan jika ada tweet yang out of topic. Karena biasanya autobase ini juga sebagai sarana fanbase suatu komunitas, seperti komunitas mahasiswa, komunitas fans, komunitas suatu kota maupun komunitas yang membahas kehidupan sehari-hari. Keuntungan menggunakan autobase ini, karena memang mengirim secara anonim, akan tetapi bisa jadi boomerang ketika kita mengirimkan konten negatif karena bisa membuat pemilik akun dan pengirim konten mendapatkan masalah.

Dalam kenyataannya, autobase bukanlah hal baru di twitter, hanya saja masih banyak yang belum familiar, terutama masyarakat awam. Karena itu penegakan hukum bagi pengelola autobase yang mendistribusikan konten asusila belum ditegakkan. Padahal pengelola akun autobase ini berperan sebagai pihak yang mendistribusikan konten pornografi ke pengikutnya.

Untuk saat ini Indonesia telah memiliki aturan mengenai pendistribusian konten asusila atau pornografi. Penyebaran konten asusila telah diatur dalam Dalam Bab XIV KUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga, Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan.

Di era globalisasi kepastian, keadilan dan efisiensi sangat penting, tiga hal ini hanya bisa dijamin dengan hukum yang baik. Sebelum membicarakan penegakan hukum, maka harus dipahami dahulu yang dimaksud dengan penegakan hukum dan faktor yang mempengaruhi untuk menganalisisnya. Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial. Roscoe Pound menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan yurisprudensi.

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga Toerekenbaarheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat dan mengakomodir tentang pengelolaan informasi dan transaksi elektronik untuk pembangunan, dan juga sebagai antisipasi atau payung hukum dari resiko buruk jika terdapat penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang dapat merugikan kepentingan hukum baik bagi orang pribadi, masyarakat maupun negara yang menggunakan alat teknologi atau dengan kata lain yang dapat disebut dengan tindak pidana cyber crime. 

Salah satu tindak pidana cyber crime yang terjadi di Indonesia adalah pengelola akun autobase yang memberikan akses mendistribusikan konten asusila. Autobase di twitter merupakan sebuah akun yang dikelola oleh seseorang yang mempublikasikan apapun yang dikirimkan pengguna lain melalui pesan pribadi tanpa mempublikasikan identitas pengirim atau bersifat anonim.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 maka pengelola akun autobase di twitter yang mendistribusikan konten asusila dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana jika terbukti dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diakses sebuah informasi dan dokumen elektronik yang bermuatan asusila.

Dalam hal ini berarti pelaku pengelola akun autobase di twitter yang mendistribusikan konten asusila melakukan perbuatan yang terdapat unsur kesengajaan, yang mana pengelola akun autobase di twitter yang mendistribusikan konten asusila tersebut menghendaki dan mengetahui perbuatan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan sanksi pidana dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang terdapat dalam BAB XI pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Dalam aturan Pasal 27 ayat (1) ketentuan sanksi pidana terdapat pada Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yaitu :

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Dalam segi yurisprudensi, kasus penyebaran konten intim berbasis internet atau media juga dapat dijerat melalui Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi melarang setiap orang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

  1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
  2. kekerasan seksual;
  3. masturbasi atau onani;
  4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  5. alat kelamin;
  6. pornografi anak.

Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Kendala Penegakan Hukum Pidana Bagi Pelaku Penyebar Konten Pornografi Di Media Elektronik

  1. Pembuatan regulasi yang jelas
  2. Penegakan hukum yang membuat efek jera bagi pelaku
  3. Melakukan pengawasan terhadap konten yang ada di media sosial
  4. Pembentukan satuan khusus
  5. Kampanye edukasi
  6. Pemberdayaan sumber daya manusia
  7. Kerjasama dengan platform media sosial
  8. Memblokir situs-situs yang memiliki indikasi adanya NCCDII
  9. Menyediakan ruang aman bagi korban

Source : 

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Republik Indonesia. 2016. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE). Jakarta.

Tesis, Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penyebaran Konten Pornografi melalui Media Elektronik di Wilayah Hukum Tanjung Jabung Barat (Studi Kasus Putusan Nomor: 4/PID.SUS/2022/PN KTL)